Langsung ke konten utama

Belajar Membangun Desa dari Mangunan Yogyakarta

Setalah satu setengah jam lamanya menempuh perjalanan dari Kota Yogyakarta, saya tiba di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini berjarak sekitar 35 kilometer dari Kota Yogyakarta. Taman yang lumayan luas menjadi beranda yang pertama kali dijumpai sebelum memasuki desa. Taman tersebut asri dengan beberapa pohon besar tumbuh di bagian tengah. Sementara tanaman-tanaman kecil dan rerumputan tumbuh di tepinya. Di tempat ini juga terdapat Sendang Mangunan, sebuah kolam mata air yang masih dimanfaatkan oleh warga desa sebagai sumber air bersih untuk beberapa keperluan.
Pemandangan di depan rumah seorang warga di Desa Mangunan (dok. Hendra Wardhana).
Seperti pada umumnya desa-desa di Indonesia, suasana di Mangunan terasa tenang dan bersahaja. Warganya mudah memberikan senyum dan ramah sehingga membuat siapa pun yang datang cepat merasa nyaman.

Kebanyakan rumah warga di Mangunan bangunannya sederhana. Beberapa rumah berarsitektur limasan dengan konstruksi yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah warga berdiri dengan jarak yang tidak terlalu rapat karena umumnya memiliki kebun atau halaman di samping dan di depan rumah. Itu sebabnya lingkungan di sini terlihat hijau dan sejuk karena banyak pepohonan.

Jalan setapak menjadi akses utama untuk menyusuri desa sambil melihat aktivitas warga. Banyak warga Mangunan yang bekerja sebagai petani baik di sawah maupun ladang, pembuat kerajinan kayu, serta pelaku wisata dan kegiatan pendukungnya. 

Wisata Budaya dan Tradisi
Wisata memang sedang menggeliat di Mangunan. Terutama setelah dikembangkannya Desa Wisata “Kaki Langit” Mangunan pada 2014. Sejak saat itu wisata menjadi penopang pembangunan di desa ini.

Potensi wisata di Mangunan cukup menjanjikan. Selain lingkungan alamnya yang asri serta warganya yang ramah, ragam budaya dan kearifan lokalnya juga menarik. Berbagai tradisi masih dijalankan oleh warga Mangunan secara turun temurun. Salah satunya adalah upacara mitoni atau peringatan tujuh bulan kehamilan.
Upacara Mitoni di Mangunan (dok. Hendra Wardhana).

Pertunjukkan kesenian Cokekan (dok. Hendra Wardhana).

Purwo Harsono, ketua pengelola Desa Wisata Kaki Langit Mangunan, menjelaskan bahwa upacara mitoni merupakan salah satu pengalaman wisata yang ditawarkan kepada wisatawan atau masyarakat yang berkunjung ke Mangunan. Selain mitoni, tradisi dan kebiasaan warga yang lain bisa dijumpai, di antaranya adalah gejog lesung, karawitan, cokekan, dan permainan tradisional anak-anak.

Pengelola desa wisata juga menyediakan paket perjalanan wisata budaya dan alam. Wisatawan antara lain akan diajak menyaksikan pertunjukkan-pertunjukkan seni yang menggabungkan adat dan tradisi, menginap di rumah penduduk atau di homestay dengan nuansa pedesaan, hingga mengunjungi obyek-obyek wisata alam seperti hutan pinus dan kebun buah di Mangunan. “Harapan kami wisata ini bisa menggerakkan pembangunan desa dan mengangkat kehidupan warga di sini”, kata Purwo Harsono. 

Maju Bersama
Kehidupan yang lebih baik memang menjadi harapan dan cita-cita yang dicanangkan oleh Mangunan. Bukan tanpa alasan karena Mangunan pernah dikategorikan sebagai desa tertinggal di DIY. Dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Kabupaten Bantul tahun 2011-2015, Mangunan termasuk salah satu dari enam belas desa yang mendapat perhatian lebih karena masih tertinggal kesejahteraannya.

Nama “Kaki Langit” menyiratkan mimpi dan keinginan untuk maju tersebut. Menurut Purwo Harsono, Kaki Langit mengandung makna “kaki” yang artinya berdaya, bergerak dan membangun bersama. Sementara “langit” bermakna tinggi, yaitu cita-cita untuk membangun hidup yang lebih baik.
Taman Sendang Mangunan (dok. Hendra Wardhana).

Pasangan suami istri Mulyono dan Sumiati, pemilik homestay di Mangunan (dok. Hendra Wardhana).
Harapan itu pun mulai terwujud. Semangat warga yang disalurkan dengan menggiatkan wisata telah memberikan kontribusi pada peningkatan pembangunan desa. Jalan setapak misalnya, kini telah disemen dan dibuat lebih rata. Revitalisasi Sendang Mangunan juga dilakukan dengan memperbaiki dan membangun infrastruktur pelengkap di tempat tersebut. Pembangunan yang digerakkan oleh sektor pariwisata tidak hanya mendorong pembangunan infrastruktur di Mangunan. Tapi juga menyentuh sektor lain seperti lapangan kerja, kelanggengan budaya, dan kelestarian lingkungan. Semua itu secara perlahan telah menghadirkan kemajuan di Mangunan.

Warga memperoleh untung dari geliat wisata di desanya. Perekonomian tumbuh seiring semakin dikenalnya Desa Mangunan. Mulai dari pemilik kendaraan yang mengantarkan wisatawan berkeliling desa, pembuat kerajinan kayu, peracik wedang uwuh, hingga warga yang menyediakan rumahnya sebagai homestay untuk tempat menginap wisatawan, mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Mulyono dan Sumiati, pasangan suami istri warga Mangunan, menceritakan bahwa sudah tiga tahun mereka memanfaatkan rumah tinggalnya yang bergaya limasan sebagai homestay. Sejak Mangunan dikembangkan sebagai desa wisata, setiap bulan ada wisatawan yang menyewa kamar-kamar di rumah mereka. Tarif kamar yang disewakan sebesar Rp150.000 per malam.

Seiring bertambahnya wisatawan yang datang, pengelola desa wisata mengajak lebih banyak warga untuk berdaya. Salah satunya dengan menjadikan rumah-rumahnya sebagai homestay. Tawaran ini pun disambut baik. Semakin banyak warga yang memugar rumah mereka, termasuk Mulyono dan Sumiati yang kemudian mempercantik dan melengkapi fasilitas di rumahnya agar wisatawan yang menginap semakin nyaman. 

Meski demikian, para pemilik rumah dan homestay sepakat untuk tidak bersaing. Warga sadar bahwa kemajuan di desanya perlu dikelola dan dijaga untuk kepentingan bersama. Setelah merasakan manfaat dari pembangunan yang digerakkan oleh pariwisata, warga Mangunan pun semakin bersemangat dalam memajukan desanya. Mereka tetap rutin bergotong royong membersihkan lingkungan sekitar. Perbaikan dan pembangunan fasilitas desa dilakukan secara bersama-sama. Desa Mangunan juga berinovasi melalui sanggar Mangun Budoyo untuk mewadahi warganya yang memiliki bakat dan kemauan mengembangkan kesenian. Kemampuan mereka dalam memainkan pertunjukkan seni dimaksimalkan sebagai atraksi wisata. 

Selain itu, daya tarik wisata diupayakan untuk mendukung kelestarian alam. Upacara mitoni misalnya, tradisi ini secara tidak langsung menumbuhkan kepedulian warga untuk menjaga keberadaan Sendang Mangunan sebagai sumber air bersih. Selama warga memiliki kesadaran untuk melaksanakan mitoni dan menggunakan air dari sendang, sepanjang itu pula kelestarian sumber air dapat terus diupayakan. Dengan demikian, wisata yang dikembangkan bisa membawa dampak yang luas dan berkelanjutan.

***
Karakteristik alam, budaya, hingga adat istiadat yang dimiliki desa-desa di Indonesia memang modal berharga yang sudah sepantasnya dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Asalkan mampu mengeksplorasi potensi yang dimiliki dan tetap menghargai lingkungan dan identitas lokal, pariwisata menawarkan masa depan yang lebih baik bagi desa. Jika hal ini mampu dimaksimalkan maka akan berdampak yang besar bagi pemerataan pembangunan desa-desa di Indonesia. 
Mangunan yang berdaya dengan pariwisata (dok. Hendra Wardhana).
Mangunan memberi contoh bagaimana kemajuan desa diupayakan dengan semangat dan mimpi bersama dari para warganya. Dengan mengembangkan potensi dan kearifan lokal yang dimiliki, Mangunan yang dulu tertinggal kini berhasil membangun kemajuan melalui inovasi di bidang pariwisata. 

Ketika desa tak lagi diam menunggu sentuhan pemerintah pusat, masyarakatnya pun aktif mengupayakan kesejahteraan bersama. Lewat desa wisata, pembangunan di Mangunan telah menggairahkan kehidupan warga dan mengangkatnya dari ketertinggalan. Oleh karena itu, rasanya tepat jika desa-desa lain di Indonesia belajar dari Mangunan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MILO CUBE, Cukup Dibeli Sekali Kemudian Lupakan

Alkisah, gara-gara “salah pergaulan" saya dibuat penasaran dengan Milo Cube. Akhirnya saya ikutan-ikutan membeli Milo bentuk kekinian tersebut.   Milo Cube (dok. pri). Oleh karena agak sulit menemukannya di swalayan dan supermarket, saya memesannya melalui sebuah marketplace online . Di berbagai toko online Milo Cube dijual dengan harga bervariasi untuk varian isi 50 cube dan 100 cube. Varian yang berisi 100 cube yang saya beli rentang harganya Rp65.000-85.000.   Pada hari ketiga setelah memesan, Milo Cube akhirnya tiba di tangan saya. Saat membuka bungkusnya saya langsung berjumpa dengan 100 kotak mungil dengan bungkus kertas hijau bertuliskan “MILO” dan “ENERGY CUBE”. Ukurannya benar-benar kecil. Satu cube beratnya hanya 2,75 gram, sehingga totalnya 275 gram.   Milo Cube yang sedang digandrungi saat ini (dok. pri). "Milo Kotak", begitu kira-kira terjemahan bebas Milo Cube (dok. pri). Tiba saatnya unboxing . Milo Cube ini berupa bubu

Sewa iPhone untuk Gaya, Jaminannya KTP dan Ijazah

Beberapa waktu lalu saya dibuat heran dengan halaman explore instagram saya yang tiba-tiba menampilkan secara berulang iklan penawaran sewa iPhone. Padahal saya bukan pengguna iPhone. Bukan seorang maniak ponsel, tidak mengikuti akun seputar gadget, dan bukan pembaca rutin konten teknologi. iPhone (engadget.com). Kemungkinan ada beberapa teman saya di instagram yang memiliki ketertarikan pada iPhone sehingga algoritma media sosial ini membawa saya ke konten serupa. Mungkin juga karena akhir-akhir ini saya mencari informasi tentang baterai macbook. Saya memang hendak mengganti baterai macbook yang sudah menurun performanya. Histori itulah yang kemungkinan besar membawa konten-konten tentang perangkat Apple seperti iphone dan sewa iPhone ke halaman explore instagram saya. Sebuah ketidaksengajaan yang akhirnya mengundang rasa penasaran. Mulai dari Rp20.000 Di instagram saya menemukan beberapa akun toko penjual dan tempat servis smartphone yang melayani sewa iPhone. Foto beberapa pelanggan

Berjuta Rasanya, tak seperti judulnya

“..bagaimana caranya kau akan melanjutkan hidupmu, jika ternyata kau adalah pilihan kedua atau berikutnya bagi orang pilihan pertamamu..” 14 Mei lalu saya mengunjungi toko buku langganan di daerah Gejayan, Yogyakarta. Setiba di sana hal yang pertama saya cari adalah majalah musik Rolling Stone terbaru. Namun setelah hampir lima belas menit mencarinya di bagian majalah saya tak kunjung mendapatinya. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri puluhan meja dan rak lainnya. Jelang malam saya membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku dari sana. Bersampul depan putih dengan hiasan pohon berdaun “jantung”. Sampul belakang berwarna ungu dengan beberapa tulisan testimoni dari sejumlah orang. Kembali ke sampul depan, di atas pohon tertulis sebuah frase yang menjadi judul buku itu. Ditulis dengan warna ungu berbunyi Berjuta Rasanya . Di atasnya lagi huruf dengan warna yang sama merangkai kata TERE LIYE . Berjuta Rasanya, karya terbaru dari penulis Tere Liye menjadi buk